Hari ini
tepat setahun kesendirianku sejak perceraian itu terjadi, rasanya masih seperti
kemarin. Setahun ini bagiku seperti masa pemulihan dari sebuah sakit yang amat
sangat perih. Dengan susah payah kutata kembali kehidupanku perlahan – lahan
kembali kudapatkan kekuatan untuk menapaki kehidupanku. Diluar sana gerimis
masih membahasi jalanan, pikiranku melayang pada semua yang terjadi saat itu,
kejadian itu kembali menari dipelupuk mataku.
Siang
itu aku pulang dari kafe milikku mengambil handphoneku yang tertinggal dirumah.
Bagiku benda itu sangat penting bagiku karena dengan itu para pelangganku dapat
menghubungiku karena selain kafe aku pun menyediakan jasa catering untuk acara
pesta. Kulangkahkan kakiku memasuki rumah tanpa ada perasaan curiga sedikitpun,
kutapaki tangga menuju kamar tidur kami yang berada dilantai dua. Saat pintu
kamar terbuka betapa terkejutnya aku melihat Andre bersama wanita yang tak
kukenal, mereka berdua pun tak kalah terkejutnya. Setelah merapikan diri Andre
mengejarku. Pertengkaran pun tak dapat terelakkan amarahku membuncah aku merasa
dibohongi, ditipu, dikhianati dan yang paling parah lagi Andre membawa wanita
itu kerumah khususnya dikamar kami. Harga diriku serasa diinjak – injak,aku
sama sekali tak dihargai oleh orang yang kupercaya, kucintai selama ini dengan
sepenuh hatiku. Air mataku berurai deras, dengan setengah berlari kuturuni
tangga hingga tak kusadari kakiku terpeleset, aku terguling kebawah namun aku
masih bisa berusaha untuk berdiri, namun betapa kembali terkejutnya aku saat
kulihat betisku berdarah. Ya Allah baru kuingat akan kehamilanku yang baru
berusia empat minggu, aku berusaha bangkit Andre mencoba menolongku namun kutampik dengan
kasar kebencianku berada pada titik didih tertinggi. Dengan susah payah aku
berusaha menuju Rumah Sakit terdekat, disana aku segera ditangani dengan cepat
oleh Dokter dan Perawat, namun apa dikata segala upaya telah dilakukan oleh
paramedis tersebut, namun pendarahan yang aku alami sangat parah akhirnya aku
harus pasrah bahwa aku telah kehilangan cabang bayiku yang selama ini kunanti
dan kujaga dengan sepenuh hatiku. Aku tak mampu berkata, bibirku kelu, aku
hanya pasrah. Yang ada dalam benakku hanyalah segera menggugat cerai Andre.
Ketika
hakim menjatuhkan palunya pertanda resmi sudah perceraianku dan Andre, saat
berpapasan kulihat tatapan yang mengandung penyesalan, namun tak kugubris kuberlalu
dengan langkah pasti meninggalkan gedung pengadilan menuju kafe sekaligus
rumahku saat ini. Disini kukembali menata hidupku yang sempat porak poranda,
kujalankan lagi usahaku seperti biasanya karena selama aku sibuk mengurus
persidangan Freya sahabat sekaligus partnerku yang mengurus segalanya.
Kusibukkan diri dengan kegiatan – kegiatan sosial, ku ingin membagi kebahagian
dengan mereka yang tak bisa mendapatkan segalanya.
Lamunanku terhenti saat Freya mengetuk pintu,
« Ada
apa ?, » tanyaku.
« Andira
looking for you, » jawabnya. Freya adalah seorang wanita kulit hitam yang
manis memiliki dua orang anak yang lucu – lucu, walaupun tak terlalu lancar
menggunakan bahasa Indonesia tapi ia mengerti apa yang kuucapkan. Yap, aku
tinggal dinegeri orang karena dibawa oleh tanteku yang menikah dengan warga
negara asing, aku telah dianggap anak oleh keduanya meskipun mereka telah
memiliki tiga orang anak. Mereka membawaku karena kejadian tragis yang menimpa
orang tuaku, mereka tewas dalam kecelakaan pesawat saat ku masih berusia dua
belas tahun.
“Ok,
I’ll be right there”, jawabku. Segera berjalan untuk menemui seseorang
tersebut. Ternyata Andira, dia pengelola dari panti asuhan yang baru saja kami
dirikan bersama – sama dengan teman lain dari berbagai macam suku bangsa.
“Apa
kabar, lama tak jumpa,” ujarku sembari memeluknya sesaat.
“Baik,”
jawabnya singkat lengkap dengan senyuman.
Kami
menuju tempat duduk, kutatap wajahnya terlihat serius sepertinya ada hal yang
ingin disampaikan olehnya.
“Begini
Cin, ternyata dana yang kita miliki masih kurang, untuk keperluan dapur. Aku
sudah berusaha membaginya dengan baik tapi memang masih kurang,” ujarnya dengan
serius.
Freya
datang menyuguhkan cappuccino untuk Andira lalu ikut bergabung menyimak yang
kami bicarakan.
“Tapi
dana yang dari para donator masih ada kan,” tanyaku.
“Ada,
tapi kusimpan untuk keperluan lain jaga – jaga kalau ada anak yang sakit,
seperti kemarin Tomy demam terpaksa harus kubawa ke dokter,”.
Kupersilahkan
dia untuk meminum minumannya, sembari berpikir. Andira menyeruput minumannya.
Aku masih belum menemukan jalan keluarnya, mungkin otakku masih beku oleh
lamunan tadi. Kutatap Freya untuk meminta idenya, dia hanya mengangkat bahu
berarti ia pun belum menemukan jalan keluarnya.
“Apa
dana itu diperlukan segera An,” tanyaku
“Cepat
sih nggak, tapi dana itu memang diperlukan juga pada akhirnya.”
Aku
mengangguk mengerti. “Oke, nanti aku pikirkan caranya,” jawabku sambil
tersenyum pada Andira.
“Sorry,
jadi merepotkan kamu Cin,” ujar Andira
“It’s
ok, lagipula itu juga kewajibanku,” jawabku sambil memegang bahunya. Sesaat
kemudian kami bertiga lebur dalam perbincangan, Andira bercerita tentang
tingkah polah anak – anak panti. Tak terasa satu jam berlalu, Andira pamit
pulang.
“Ok,
kalau begitu aku pulang dulu," ujarnya sembari berdiri lalu memelukku dan
Freya.
“Hati –
hati ya, titip salam untuk anak – anak," kataku.
Sepeninggalnya
Andira aku masih memikirkan cara agar bisa mendapatkan dana tersebut namun
karena pelanggan berdatangan aku segera menyapa mereka seperti biasanya dan
mencatat pesanan mereka. Freya sering protes padaku bila aku melalukan hal ini,
tapi aku suka meskipun kami memiliki pelayan. Siang ini kafe lumayan banyak
pengunjungnya sehingga tempat yang kami sediakan terisi penuh semua. Terima
kasih ya Allah atas rezeki yang Kau berikan hari ini, bisikku dalam hati.
Dimeja kasir kulihat Freya tersenyum bahagia padaku.
Pagi ini
matahari seperti enggan menampakkan sinarnya, mendung bergelayut diatas sana.
Kubolak – balik Koran pagi ini mencari berita yang menarik, mataku terhenti
dikolom iklan ada yang menarik disana.
Dibutuhkan
segera pengasuh sementara anak laki-laki berusia berusia lima tahun.
Alamat sertakan biodata lengkap
anda.
Aha….kujentikkan
jariku, aku memandang kearah Freya yang bingung meminta penjelasan dengan
tatapannya. Kutunjukkan kolom iklan itu padanya, tapi rupanya dia masih tak
mengerti maksudku.
"What….I
still don’t understand." Katanya
"This
the solution Freya, dana itu, untuk panti," ujarku
Matanya
yang sudah bulat itu terbelalak hingga aku setengah tertawa karenanya.
"Maksudmu,
kamu mau jadi pengasuh mencari dana untuk panti," tanyanya meyakinkan
diri.
"Exactly," kataku mantap.
"Berapa lama, kamu mau jadi pengasuh selamanya?."
"Off
course not, it’s just for awhile, look," jawabku kembali menunjukkan
iklan.
"Apa tidak ada jalan lain," ujarnya kembali
"Apa salahnya mencoba, belum tentu langsung diterima bukan,"
ujarku sambil mengambil roti panggang sarapanku.
"Terserah
kamu, tapi hati – hati ya," katanya lagi.
Aku
mengangguk setuju, begitulah Freya dia selalu mengingatkan siapapun di kafe ini
terutama karyawan kami apabila hendak melakukan sesuatu. Dia sudah seperti
saudara bagiku. Aku segera menyiapkan biodata seperti yang tertera diiklan
tersebut.
Keesokan
paginya aku mencari alamat yang tertera diiklan itu, setelah mencari beberapa
lama akhirnya aku menemukan rumah itu, tamannya tertata rapi bunga mawar dan
lily tumbuh dengan subur dan mekar dengan indahnya. Kutarik lalu kuhembuskan
kembali nafasku sebelum kumemencet bel. Sesaat kemudian seorang wanita cantik
membuka pintu sembari tersenyum.
"Rumah
keluarga Miller?," tanyaku dalam bahasa Inggris.
"Yes,
and you must be Cindy?," tebakknya. "You can call me
Amira,"sambungnya.
"Yes."
"Silahkan
masuk, kami sudah menunggumu sejak tadi,"jawabnya dengan bahasa Indonesia
yang sangat lancar. Aku terkejut mendengarnya.
"Kami
mempunyai paman yang menikah dengan orang Indonesia, jadi kami belajar dari
tante," jelasnya karena melihat keterkejutanku.
"Ya,
benar kata orang kalau dunia itu kecil," jawabku sambil mengikutinya dari
belakang. Kemarin saat membuat janji aku memang sudah menceritakan sedikit
tentang diriku pada mereka.
Diruang
keluarga itu ada seorang anak sedang bermain dengan robotnya, dia menoleh saat
kami datang lalu kemudian duduk disamping ibunya.
"Ini
anakku Ryan, pengasuhnya yang dulu sedang cuti karena ibunya sedang sakit,jadi
terpaksa aku harus mencari penggantinya sementara," jelasnya padaku.
"Hi,
Im Cindy. Nice to meet You Ryan," ujarku sambil mengulurkan tangan kepada
Ryan.
Ia pun menyambut tanganku,lalu mengucapkan namanya. Lalu kemudian
mengambil tempat duduk disebelahku. Ia membawaku untuk memainkan robotnya.
"Sepertinya
Ryan suka denganmu, sebelumnya ada pelamar lain tapi dia takut lalu sembunyi
dibelakangku, well Cindy sepertinya kamu diterima karena dia yang memutuskannya,"
ujarnya.
Aku
tersenyum sembari memainkan robot yang diberikan Ryan padaku. "Terima
kasih."
Sesaat
kemudian Amira menjelaskan kepadaku apa saja yang harus kulakukan dalam
mengurus Ryan, mulai dari makanan, cara memandikan, jamnya istirahat, serta hal
lainnya dan menunjukkan kamar tidur anak semata wayangnya itu. Lalu ia
menunjukkan kamar disebelah kamar Ryan.
"Ini
kamar adikku, namanya Peter tapi ia jarang tidur disini karena ia tinggal
asrama kampus hanya saat sedang ada waktu dia biasanya kesini menjenguk
Ryan," ujarnya.
Lalu
kami menuruni tangga Ryan memegang tanganku sambil tersenyum lebar sepertinya
ia senang dengan kehadiranku, sesampainya dibawah Ryan membawaku untuk
menggambar namun Amira memintanya untuk menunggu dulu karena dia akan membahas
tentang jumlah gajiku. Ia pun tak keberatan saatku meminta separuh gajiku dulu
karena aku memerlukannya. Sejak saat itu mulailah aku bekerja dikeluarga
Miller. Aku menikmati pekerjaanku, Ryan anak yang lucu walau terkadang ia juga
bisa susah diurus.Kedua orang tuanya pun ramah terhadapku, sehingga aku merasa
betah dengan pekerjaan ini.Bahkan mereka pernah mengajakku untuk berlibur ke
tempat orang tuanya namun kutolak karena aku ingin mengurus kafe dan panti
selama mereka berlibur.Tentu saja mereka tak mengetahui hal itu, aku
merahasiakannya.
Hari ini
aku dan Ryan sibuk menyusun mainan Leggo agar menjadi sebuah rumah, tiba – tiba
bel pintu berbunyi. Seperti biasanya Ryan selalu berusaha mendahuluiku untuk
membukakan pintu, saat pintu terbuka Ryan menghambur kepelukan lelaki muda yang
didepannya, seraya berkata "Uncle Peter." Laki – laki itu pun
memeluknya erat, sambil menanyakan kabarnya. Sambil menggendong Ryan, dia
mengulurkan tangannya padaku.
"Kau pasti Cindy," ujarnya lugas. Aku pun mengulurkan tanganku
sambil menjawab dan entah mengapa ada getar aneh dihatiku saatku menjabat
tangannya namun segera kutepis.
"Ryan sering menceritakan dirimu lewat telpon padaku, sepertinya ia
sudah mulai lupa dengan pengasuhnya yang dulu," ceritanya.
"Namanya juga anak – anak, nanti pun kalau aku sudah tidak disini lagi
pasti ia pun begitu," jawabku sambil mengikuti mereka berdua dari
belakang. Tak ada rasa canggung antara aku dan Peter, orangnya cepat sekali
beradaptasi. Sehingga tak terasa hari berlalu saatnya aku untuk pulang, namun
orang tua Ryan tak kunjung datang, jam sudah menunjukkan pukul enam tigapuluh
biasanya mereka datang lebih cepat. Tiba – tiba handphoneku berbunyi dari
ibunya Ryan, ia mengatakan kalau mereka berdua tak dapat pulang segera karena
menghadiri undangan kolega suaminya. Ini berarti aku harus disini sampai mereka
kembali sebenarnya aku bisa menitipkannya pada Peter namun Ryan ingin aku yang
menidurkannya. Aku pun membawanya ketempat tidur lalu membacakan cerita
untuknya beberapa saat kemudian ia pun tertidur, segera kurapikan selimutnya
dan aku baru menyadari kalau aku belum makan malam. Aku bergegas turun untuk
merapikan mainan Ryan yang berantakan tetapi rupanya Peter sudah merapikannya.
Aku pun menuju dapur disana Peter sedang memasak sesuatu, sepertinya lasagna wanginya
begitu terasa membuatku semakin lapar. Peter tersenyum begitu
mengetahui kedatanganku seraya bertanya "Lapar?."
"Sangat," jawabku tanpa ragu. Aku pun membantunya menyiapkan
piring dan air minum. Sesaat kemudian kami pun menyantap lasagna tersebut.
"Bagaimana
masakanku," tanyanya kembali sesaat setelah kumasukkan lasagna kemulutku.
"Enak."
Sahutku sambil kembali makan
"Betul
enak atau enak karena kamu sedang kelaparan," sambil menatapku sehingga
aku jadi agak salah tingkah.
Aku
mengacungkan dua jempolku karena mulutku sedang penuh, Peter tersenyum
melihatnya. God….senyumnya manis sekali hei…what’s wrong with me teriak
batinku. Waktu berjalan dengan cepat, Peter banyak bercerita tentang dirinya,
bahwa dia mahasiswa tingkat akhir jurusan pertambangan, punya usaha bengkel
yang baru dimulainya setahun yang lalu, punya tiga sahabat yang ternyata
sepupunya semua, ia bahkan menunjukkan foto mereka berempat dari dompetnya.
Dahiku mengerenyit kenapa tak ada foto teman wanitanya didompet itu, rupanya
Peter dapat membaca pikiranku. Dia pun mengatakan kalau dia sedang tak ada
teman wanita yang dekat saat ini, dan entah mengapa ada pojok hatiku yang lega
mendengarnya. Pembicaraan kami terhenti saat bel pintu berbunyi kedua orang tua
Ryan telah datang. Aku segera pamit pulang karena jam sudah menunjukkan jam
Sembilan tepat, Amira sempat meminta maaf dan ia menawarkan Peter untuk
mengantarku pulang aku pun menyetujuinya, karena tadi pagi aku menggunakan
taksi ke sini skuter yang selalu kupakai sedang dibengkel.Sepanjang perjalanan
kami tak hentinya berbicara tentang apa saja, akhirnya kami pun sampai didepan
kafe.
“Kamu tinggal disini?,” Tanya Peter. "Ini milikmu ?,"
sambungnya.
Aku tersenyum melihat keterkejutan kecil diwajahnya dan segera mengiyakan
pertanyaannya yang beruntun itu. Aku mempersilahkan Peter masuk ternyata Freya
masih ada didalam aku segera memperkenalkan keduanya, dia masih menghitung
semua untuk hari ini. Beberapa saat kemudian, Peter pamit pulang. Sepulangnya
Peter, Freya memberondongku dengan pertanyaan, aku pun menjawab apa adanya.
"Jangan
tutup hatimu, sepertinya dia suka denganmu." Ujarnya mengikutiku menapaki
tangga menuju kamarku dilantai dua.
"Bagaimana
kamu bisa seyakin itu,aku kenal saja baru beberapa jam."
"Mataku
ini tidak buta."
"Dia
lebih muda tiga tahun dariku Freya."
"Lho,
memang kenapa, banyak pasangan yang lelakinya lebih muda malah langgeng. Lihat
saja Kim dengan Justin." Dia menyebutkan salah satu sahabat kami.
Kuhempaskan tubuhku di tempat tidur,
Freya pun melakukan hal yang sama. Kelelahan terasa saat tubuh berada ditempat
tidur. Kutatap langit – langit kamarku yang ada disitu……Peter. Kugelengkan
kepalaku menghalau hal itu. Freya memiringkan tubuhnya menghadap kearahku.
"He's
a nice guy, I like him." Ujarnya meyakinkan ku.
"Biar
waktu yang menjawabnya," ujarku pula.
Freya tersenyum, lalu bangkit dari tempat tidur ia ingin bersiap pulang. Sepeninggalnya
Freya aku bergegas membersihkan diri, untuk segera tidur. Saat kantuk
menderaku, sisi hatiku terbersit tanya "Mungkinkah dia orangnya ?."
#####
Aku membongkar isi lemariku mencari gaun yang tepat untukku, entah kenapa
rasanya selalu ada yang tidak tepat, padahal semua gaun itu masih bagus untuk
dipakai kembali. Hhhh…..kenapa aku jadi gugup, resah, begini padahal Peter
hanya minta ditemani ke acara kampusnya. Dan aku tak mengerti kenapa aku tak
mampu menolak permintaannya itu. Freya memandangku sambil berdiri dipinggir
pintu kamarku, dia hanya tersenyum melihat tingkahku. Kutatap dia dengan
perasaan berkecamuk.
"Yang merah itu bagus kok," ujarnya meyakinkanku.
"Apa warnanya tidak terlalu mencolok," tanyaku sambil memandang
gaun tersebut.
"Justru dengan itu kamu bisa jadi pusat perhatian," katanya
sambil mendekatiku.
"Freya…..honey,
aku cuma menemaninya bukan mau cari jodoh."
"Siapa
suruh kamu cari jodoh, jodohmu sudah ada didepan matamu tapi kamu masih
meragukannya," ujar Freya sambil membantuku merapikan gaun itu begitu
kupasang.
Aku
membelalakkan mataku padanya tapi cuek pura – pura tidak tahu. Namun apa yang
dikatakannya memang benar adanya, bisik batinku.
Kupandangi
bayanganku dicermin ternyata pilihan Freya tidak salah. Im good looking with
this dress. Enam bulan yang lalu Peter telah mengungkapkan perasaannya
kepadaku, namun kukatakan padanya kalau aku perlu waktu untuk memikirnya Peter
pun mengiyakan. Aku ragu karena perbedaan usia diantara kami berdua walaupun
hanya tiga tahun, tetapi Peter tak
pernah berhenti meyakinkan diriku bahwa itu bukanlah penghalang dan selama enam
bulan ini dia telah membuktikannya. Kuakui dia bukan seperti lelaki pada
umumnya yang seusia dirinya, pikirannya dan tindakannya begitu dewasa. Karena
itulah Freya selalu mendesakku untuk segera memberikan jawabanku pada Peter.
Aku bosan melihat kamu selalu begini, katanya suatu waktu padaku.
"Kamu
sudah siap dengan jawabanmu malam ini," ujar Freya sambil membantuku
berdandan.
"Kamu
yakin dia akan menanyakanku ?."
Freya
menganggukkan kepalanya sembari menyapukan blush on di pipiku. Hhh…temanku yang
satu ini memang seperti memiliki indra keenam saja. Sesaat kemudian acara
berdandan selesai, sekali lagi aku mematut diri dihadapan cermin, perfect.
Tinggal menunggu Peter datang. Jantungku berdegup aku seperti anak remaja pada
kencan pertamanya. Lima belas menit kemudian Freya memanggilku dari bawah,
Peter telah datang. Kutarik lalu kuhembuskan lagi nafasku untuk menghalau rasa
gemuruh didadaku. Kuturuni tangga dengan pelan namun pasti dibawah sana
Peter telah menunggu dengan seikat bunga
mawar segar dia terlihat begitu tampan dengan tuxedo-nya.Peter memberikanku mawar
tersebut, aku menyambutnya dengan suka cita. Tanpa ragu digenggamnya tanganku
menuju mobil, kutoleh kepalaku kebelakang kearah Freya, dia tersenyum.
"Have
fun," ujarnya.
"We
will," jawab Peter.
Sesaat
kemudian mobil kami meluncur menuju tempat pesta diadakan. Sambil mengemudikan
mobil Peter bertanya padaku "Kamu suka bunganya?."
"Suka,
terima kasih. Kamu tidak memintanya dari Amira kan?."
Peter
tertawa kecil lalu menjawab "Aku memang memetik dari kebunnya. Tapi dia
mengijinkan begitu tahu bunga itu untukmu," sambil menatapku penuh arti.
Ditatap
seperti itu aku jadi salah tingkah, segera kualihkan pandanganku ke depan. Lalu
kesunyian sesaat terasa, namun aku masih merasakan debar didadaku.
Sesampainya
di depan Kampus Peter membukakan pintu mobil untukku, lalu menggandeng tanganku
sembari melangkah, sesampainya di depan pintu tempat pesta aku menghentikan
langkahku sejenak.
“Kenapa?,”
Tanya Peter padaku.
“Janji
kamu nggak akan meninggalkanku didalam, aku nggak kenal siapa pun disana selain
kamu,” jawabku.
Peter
tersenyum lalu menganggukkan kepalanya tanda setuju. Lalu kami pun kembali
melangkah memasuki ruangan. Dan…tak satu pun yang kukenal disana. Tanpa
kusadari tangan Peter kugenggam dengan erat. Rasanya seperti kembali ke masa
lalu ketika aku kuliah dahulu, aku termasuk yang jarang menghadiri pesta. Peter
mengenalkanku pada teman – teman dan ketiga sepupunya, semuanya ramah kepadaku.
Peter pamit sebentar padaku meninggalkanku dengan sepupunya.
“Peter
selalu menceritakan dirimu kepada kami,” ujar Bryan sambil menawarkanku kue.
“Semoga
bukan yang aneh – aneh,” jawabku sambil mengambil kue tersebut sebuah lalu
tersenyum.
“Tidak,
dia katakan kalau kamu wanita yang dia cari selama ini,” ujar Andrew.
Aku
membelalakkan mataku sembari menatap mereka, aku tak tahu apa warna wajahku
saat ini. Ya Tuhan….Freya benar apa lagi yang kucari.
“Dia akan menunggumu. Itu
yang dia katakan,” kata Bryan lagi.
Lalu
Peter datang percakapan kami pun terhenti. Ketiganya pun pamit untuk berbaur
dengan yang lain. Sembari melangkah Bryan mengacungkan dua jempolnya kearah
kami berdua sembari tersenyum. Aku dan Peter tersenyum melihatnya kemudian dia
membawaku katanya ingin mengenalkanku pada dosen pembimbingnya, kami pun
berjalan ke sudut ruangan tersebut disana terlihat beberapa lelaki dan wanita.
Peter menepuk pelan pundak lelaki yang membelakangi kami, alangkah kaget
bercampur senang hatiku saat kumelihat begitu membalikkan badannya ternyata dia
pak Wright dosenku dahulu.
“Cindy….how
are you??,” tanyanya sembari mengulurkan tangannya.
“Im fine
sir, anda masih ingat dengan saya” jawabku lalu menyambut uluran tangannya.
“Off
course, bagaimana mungkin saya bisa lupa. Kamu salah satu mahasiswa yang
berprestasi dibawah bimbinganku,” jawabnya antusias.
“Bapak bisa saja, sudah lama anda pindah ke Universitas ini
pak?, " tanyaku lagi.
"Ya, sejak angkatanmu lulus semua, aku mendapatkan tawaran mengajar
disini. Tanpa berpikir dua kali aku langsung mengiyakan, lagi pula disini
fasilitas disini lebih lengkap."
"Pastinya dananya juga kan pak," jawabku sambil bercanda.
Dia tertawa dan mengiyakan. Sesaat kemudian kami bertiga larut dalam
percakapan, sampai akhirnya pak Wright diminta ke depan untuk mengumumkan
sesuatu. Ternyata
pesta ini diadakan untuk menggalang dana untuk penelitian yang dilakukan oleh
Universitas. Setelah serangkaian acara dilalui saatnya untuk bersantai dan
menikmati hidangan yang telah disediakan dan juga bagi yang ingin berdansa.
Saat itulah Peter mengajakku ke salah satu bangunan yang ada di kampusnya,
sesampainya disana Peter benar dari tempat itu bulan terlihat begitu jelas dan
indah sekali.
"Aku selalu kesini bila ingin mencari ketenangan dan membuat tugasku,"
katanya sambil menatap bulan purnama. Lalu menatapku kemudian dengan cepat
meraih kedua tanganku lalu berkata "Cindy…aku ingin jawabmu."
Aku mengerti arah pembicaraannya, dan entah kekuatan dari mana hingga
kumampu menatap dalam – dalam sepasang mata biru yang ada dihadapanku saat ini,
sesaat hening terasa diantara kami berdua. Setelah menarik nafas dan
menghembuskannya kembali aku pun menganggukkan kepala sembari tersenyum, sesaat
kemudian aku sudah berada dalam pelukan hangat Peter rasanya waktu seperti berhenti
berputar, aku merasa begitu aman didalamnya.
Aku mendongkakkan kepalaku kearahnya lalu bertanya "Kenapa
aku ?."
"Aku menemukan yang kucari dirimu," jawabnya sambil masih
memelukku erat.
"Apa ?."
"Secret."
Aku pura – pura cemberut, lalu kami berdua tertawa bersama kemudian
dikecupnya dengan lembut keningku. Tak terasa airmataku menetes, airmata bahagia, aku
tak bisa mengungkapkan semua dengan kata saat ini. Peter menghapusnya untukku.
Kemudian kami pun meninggalkan tempat itu kembali menuju ruangan pesta, disana
kami kembali berbaur dengan yang lainnya. Karena malam kian larut dan aku pun
mulai merasa mengantuk kami berdua pun pulang, dimobil aku tak kuasa menahan
kantukku aku tertidur dan terbangun saat Peter membangunkanku ketika kami telah
tiba di café plus rumahku. Setelah kubuka pintu Peter pun pamit untuk pulang
setelah sebelumnya dia kembali mengecup keningku sembari mengucapkan "I
love you, dream of me toninght." Kemudian dia pun berlalu. Aku pun segera
menapaki tangga menuju kamar untuk segera mengganti pakaianku dan pergi tidur.
Hari ini
Peter mengajakku untuk bertemu dengan orang tua dan keluarganya, aku benar –
benar merasa gugup sekali namun Peter meyakinkanku kalau keluarganya pasti akan
menerimaku. Sesampainya disana mereka menyambut dengan hangat rasanya seperti
pulang ke rumah. Ibu Peter banyak bercerita saat Peter kecil, dia membawaku
melihat album – album kenangan yang tertata rapi dalam sebuah lemari di ruang
keluarga. Aku tersenyum melihat foto – foto tersebut tak lama kemudian Amira
memanggil kami semua untuk menuju ruang makan menyantap makanan yang telah
dihidangkan. Saat asyik menikmati makanan tiba – tiba Peter meminta perhatian
sebentar lalu menatapku.
"Honey….sebenarnya
sudah lama ini ada didalam benakku untuk menyatakannya kepadamu, tapi kalau aku
terlalu lama memendamnya aku akan hanya menyia – nyiakan waktu….." Peter
menarik nafas lalu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, ternyata sebuah
cincin dengan permata berwarna putih, diraihnya tanganku lalu memasukkannya ke
jari manisku seraya bertanya "Maukah kau menikah denganku?."